basecamp

Hutan Adat Tobelo Dalam dikuasai Taman Nasional dan Tambang

Masyarakat Adat Tobelo Dalam
Malam itu tepat tanggal 19 Juli 2012, sekitar pukul 23.00 Wit, saya beserta dua orang teman melakukan perjalanan bersama naik KM. Nur Abadi. Kapal yang melintasi laut Halmahera ini menempuh perjalanan dari Tobelo menuju Buli, singgah di beberapa pelabuhan, salah satunya pelabuhan Patlean. Di pelabuhan ini kami turun mengganti transportasi lain menuju Desa Pumlanga dan Dusun Walaino. Jarak tempuh dari Tobelo ke Patlean sekitar 7 jam perjalanan.


Desa Pumlanga dan Dusun Walaino berada di Kecamatan Maba Utara-Doro Sagu, Halmahera Timur. Jumlah penduduk berkisar 700-an jiwa. Akses transportasi darat ke wilayah ini sangat sulit. Jalan penghubung dengan Ibukota Kabupaten atau wilayah lain belum tersambung. Akhirnya transportasi laut jadi andalan masyarakat mengakses wilayah – wilayah lain. Namun transportasi laut hanya beroperasi 2 kali dalam seminggu.  Sebagai orang yang baru pertama kali melintasi wilayah tersebut, harus banyak bertanya biar tidak tersesat. Malam itu seorang penumpang kapal memberi kami informasi bagaimana caranya sampai ke tempat tujuan.

Perjalanan dengan kapal laut malam itu sungguh memberikan kenyaman hati. Ditemani angin sepoi-sepoi, gelombang-gelombang kecil di tengah laut Halmahera, hingga musik dangdut tempo dulu. Hiburan di tengah kesunyian malam.

Beberapa jam kemudian, kapten kapal menyampaikan pesan lewat pengeras suara, bahwa kapal sudah berada di depan Desa Patlean. Kapal tersebut membuang jangkar jauh di tengah laut lepas. Tidak ada pelabuhan tempat kapal tersebut bersandar. Motor laut yang menawarkan jasa angkutan  bersandar di bodi kapal. Kita tinggal pilih mana yang harus digunakan. Harga per-orang dari kapal ke kampung Rp. 20.000. Banyak penumpang yang juga turun bersama – sama kami.

Hari masih pagi, sekitar pukul 06.00 Wit, kami pun tiba di Desa Patlean dan melanjutkan perjalanan ke Desa Pumlanga menggunakan motor laut carteran dengan jarak tempuh sekitar 30 menit. Desa tersebut berada di bibir pantai, karena itu memiliki potensi pasir besi yang luar biasa besar. Menurut informasi warga, bahwa rencananya sebuah perusahan tambang akan mengeksploitasi kandungan pasir besi di wilayah tersebut dan pemukiman akan dipindahkan.

Padahal alamnya sangat indah. Deretan tebing menjulang tinggi di bibir pantai, juga pasir hitam yang membentuk jalan sehingga pengendara motor darat, bebas berkeliaran sesuka mereka. Laut terlihat tenang, hanya sesekali terlihat riak ombak laut yang bergelombang dengan tertib.

Menurut keterangan warga Pumlanga, musim angin kali ini adalah musim selatan, sehingga laut tenang. Beda kalau musim angin timur datang, laut pasti memberontak, nelayan kesulitan  melaut saat  musim timur tiba. Nelayan pindah mencari ikan ke sungai, sebagian berburu rusa maupun babi. Ini bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat. Musim timur biasanya terjadi selama 3 bulan.

Kami beristirahat sejenak di rumah Kepala Desa, baru siangnya melanjutkan perjalanan ke Dusun Walaino, tempat tinggal Suku Tobelo Dalam.

Dusun dengan jumlah penduduk 300-an jiwa itu berada di tengah hutan, sekitar 9 Kilometer dari Desa Pumlanga. Untuk mencapai wilayah ini harus menggunakan jasa motor ojek, melintasi dua sungai besar menggunakan rakit buatan masyarakat Sungai Pumlanga dan Sungai Akelamo. Jika musim hujan lebat, orang takut melintasi sungai tersebut sebab pasti dilanda banjir, air biasanya meluap hingga ke pemukiman penduduk.

Tahun 2007, Dusun Walaino dilanda banjir besar akibat luapan air Sungai Akelamo. Tempat tinggal mereka yang dibangun pemerintah, rusak parah.  Saat ini orang Tobelo Dalam memilih membangun rumah sendiri di daratan  tinggi menghindari terjangan banjir. Rumah dibangun bahannya dari sisa – sisa kayu dan seng bekas dari rumah yang terkena banjir. Sebagian justru membangun rumah yang tak berdinding, atapnya juga dari daun rumbia. Disitulah mereka menjadi kan tempat tidur dan membangun hidup.

Orang Tobelo Dalam atau yang disebut Ohongana Manyawa pada umumnya sudah beragama kristen. Mereka juga bisa berbahasa melayu Ternate, meski sebagian belum fasih betul menggunakan bahasa tersebut. Dalam komunikasi sehari – hari harus dengan bahasa suku Tobelo. Mereka sudah bisa beradaptasi dengan penduduk lain. Padahal dulu, sering terjadi konflik antara mereka dengan penduduk sekitar pesisir, bahkan bisa saling bunuh.

Menurut hasil survei Burung Indonesia, Suku Tobelo Dalam ini mempunyai titik penyebaran sekitar 19 titik, baik di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Kota Tidore Kepulauan. Mereka hidup di kawasan hutan dari turun – temurun. Sejak dulu leluhurnya telah menitipkan tanah dan hutan untuk keberlanjutan hidup mereka. Namun kini hutan yang mereka warisi tersebut masuk kawasan Taman Nasional Aketajawe – Lolobata, juga areal konsesi perusahan tambang, perkebunan sawit, HPH serta  transmigrasi dan akhirnya mereka terpinggirkan.

Kami disambut dan diarahkan ke rumah Kepala Dusun. Di situlah tempat pertemuan membahas agenda yang akan kami kerjakan bersama. Satu demi satu masyarakat Tobelo Dalam berdatangan, begitupun para pemimpin – pemimpin mereka.

Kemudian beberapa rencana program yang akan dikerjakan bersama, kami sampaikan. Dari program Community Centre juga pemetaan wilayah adat. Mereka mendukung rencana bersama tersebut, bahkan siap memetakan wilayah adat dan menghibahkan sekintal tanah untuk pembangunan Community Centre.

Obrolan terus berlanjut, mereka mengemukakan masalah terkait dengan penguasaan hutan adat oleh Taman Nasional saat ini. Bahkan tak jauh dari tempat tinggal mereka ada areal transmigrasi dari Jawa dan NTT, belum lagi adanya rencana eksploitasi nikel oleh salah satu perusahan tambang di wilayah tersebut. Mereka mulai merasa kesulitan pada kebijakan negara tersebut, sebab akses masuk mereka terhadap hutan terbatasi oleh penetapan status hutan dan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal ketergantungan hidup mereka ada pada hutan, bagi komunitas Tobelo Dalam merupakan kehidupan dan tempat tinggal leluhur mereka.

Ketika kami menyampaikan bahwa ada keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Hutan Adat, mereka sangat antusias merespon keputusan tersebut. Bagi mereka sudah waktunya memetakan wilayah adat termasuk hutan adat mereka yang sekian tahun dikuasai pihak lain. Hutan ini harus berada dalam kuasa orang Tobelo Dalam demi menyiapkan masa depan anak – cucu mereka. ****


CATATAN PERJALANAN KE TOBELO DALAM
oleh : Munadi Kilkoda (Ketua BPH AMAN Malut)
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: