basecamp

Negara, Aktor Utama Dibalik Layar Perampasan Hak Rakyat ?



Untuk pelaku utama konflik, ditempati perusahaan, dengan pola, komunitas lokal melawan perusahaan, petani versus perusahaan, komunitas lokal dengan Perhutani dan masyarakat adat melawan perusahaan. “Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan,” kata Wiwid.

Konflik-konflik ini menyebabkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejalan dengan perkembangan HAM, saat ini perusahaan atau korporasi bisa dikategorikan sebagai pelaku, tak hanya negara.

Berangkat dari itu, sistem pendokumentasian HuMa mengklasifikasi kejadian masuk kategori peristiwa yang melingkupi kasus. HuMa mendokumentasikan konflik dengan dasar kasus, bukan peristiwa. Bila dalam kategori pelaku konflik, perusahaan atau korporasi menempati urutan teratas, dalam kategori pelanggar HAM dalam konflik agraria, negara menempati posisi pertama.

Kasus ini berlangsung sistematis menyasar kelompok masyarakat yang aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. “Aparat negara, seperti personel Brimob, cenderung memposisikan diri sebagai pihak pengaman aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat,” ujar Rakhma. HuMa mencatat, sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas menjadi korban konflik SDA dan agraria.


HuMa juga mengidentifikasi pelaku pelanggar HAM dari kalangan individu yang memiliki posisi dan pengaruh dalam kekuasaan, terutama di tingkat lokal. Contoh, ketua kerapatan adat, menggunakan kekuasaan sebagai tetua adat untuk menghasut atau menyerang masyarakat yang protes-protes.

Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran HAM, pertama, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam paling sering terjadi (25%). Biasa terjadi pada sengketa yang terkait dengan kepemilikan kolektif, misal sekelompok masyarakat adat kehilangan akses terhadap hutan adat karena pemberian konsesi pada perusahaan oleh pemerintah.

Kedua, pelanggaran hak memiliki atau menguasasi kekayaan sebanyak 19 persen. Ini terjadi pada perampasan tanah-tanah masyarakat secara individu. Sebagian korban mempunyai surat kepemilikan tanah dan sebagian lain tidak. Di Kabupaten Aceh Timur, ada 700 orang bersengketa dengan PT Bumi Flora. Warga di tujuh desa ini menunggu verifikasi tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka. Kasus serupa terjadi pada sengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan warga pendatang di Kabupaten Tebo. Mereka saling mengklaim sebagai pihak yang sah atas tanah itu.


Ketiga, pelanggaran hak atas kebebasan sebanyak 18 persen. Kasus ini terjadi saat aparat pemerintah menangkap semena-mena masyarakat yang melawan penyerobotan tanah. Peritiwa penangkapan besar-besaran terjadi dalam kasus sengketa tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Bengkalis. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sweeping mencekam dan berdarah. Juga terjadi di Kabupaten Labuhanbatu Utara, 60 warga menentang penyerobotan tanah PT Smart ditangkap. Nasib serupa dialami 24 warga penentang tambang PT. Fathi Resources di Kabupaten Sumba Timur.

Keempat, pelanggaran terhadap integritas pribadi, seperti pada kasus-kasus bentrokan. Bentrokan, katanya, bisa terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun kepolisian. Tidak jarang sweeping kepolisian dengan jumlah personel di desa-desa untuk menangkap warga. Jika ada perlawanan berakhir penembakan dan penganiayaan.

Kasus seperti ini di PT. Permata Hijau Pasaman II, Kabupaten Pasaman Barat, 20 orang luka tembak. Peristiwa berdarah PTPN VII di Ogan Ilir menyebabkan 23 warga luka tertembak, satu tewas. Kini, tiga orang dikriminalisasi, dua di antaranya aktivis Walhi Sumatera Selatan (Sumsel).


Dari beragam konflik ini, HuMa meminta, pemerintah mengambil beberapa langkah. Pertama, moratorium semua perizinan untuk perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan.

Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria, case by case, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Keempat, dari rekomendasi lembaga itu, pemerintah menindak tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan. Lalu, menindak pidana perusahaan maupun aparat pemerintah yang merampas tanah rakyat.

Kelima, review peraturan perundang-undangan SDA yang tumpang tindih. Keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai pemilik. Tindakan ini untuk menjalankan Tap MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.

@[berbagai sumber]
Share on Google Plus

About Unknown

Petualang muda yang suka apa saja kecuali belajar berhitung, jatuh cinta dunia Petualangan dan Alam Indonesia. Juga seorang pengagum pohon Bambu dan bunga Dandelion.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar: